KERANGKA HUKUM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH

Oleh: Suhirman,

Perencanaan dan penganggaran daerah sejak tahun 1999 telah menjadi isu yang sangat penting di Indonesia terutama bila dikaitkan dengan dua tuntutan praktis yaitu: 1) implementasi desentralisasi administrasi pemerintahan dan 2) implementasi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Selain itu secara substantif perencanaan dan penganggaran juga memiliki arti penting jika dikaitkan dengan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam alokasi sumber daya publik.[i] Untuk mendorong reformasi dalam perencanaan dan pengangaran daerah, pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen hukum.,

Ada empat instrumen hukum utama yang secara langsung melandasi kerangka kerja dan kelembagaan perencanaan dan penganggaran daerah yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu: ,

1.      UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara terutama pasal 17 – 20.,

2.      UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama pasal 21 – 27.,

3.      UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama pasal 150 – 154 dan pasal 179 – 199.,

4.      UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah terutama pasal 66 – 86. ,

UU No. 25/2004 yang mengatur mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) berkaitan erat dengan UU No. 17/2003 yang mengatur tentang Keuangan Negara. Hubungannya bersifat langsung karena proses penganggaran daerah menurut UU No. 17/2003 dimulai dengan merumuskan Kabijakan Umum Anggaran (KUA) yang harus merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Sedangkan RKPD merupakan proses akhir dari proses perencanaan yang diatur oleh UU No. 25/2004. Baik UU No. 25/2004 maupun UU No. 17/2003 mengatur perencanaan dan keuangan di tingkat nasional yang meliputi pusat dan daerah. Khusus untuk daerah, pemerintah mengeluarkan UU 32 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mengatur mengenai berbagai aspek pemerintahanan daerah, salah satunya adalah regulasi mengenai perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Dengan kata lain UU No. 32/2004 berisi substansi baik mengenai perencanaan maupun penganggaran di tingkat daerah. ,

Berdasarkan Undang-undang No. 17/2003 dan Undang-undang No. 25/2004, beberapa lembaga memiliki peran penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah yaitu: Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala daerag, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). ,

Berbeda dengan peraturan perundangan sebelumnya, hampir seluruh instrumen hukum mengenai perencanaan dan penganggaran yang dikeluarkan seletalah tahun 2004 menekankan pentingnya standard pelayanan minimum, lebih pro-porr, dan menekankan pendekatan berbasis kinerja.,

Ke-empat instrumen hukum di atas tidak mengatur secara rinci mengenai substansi dan proses perencanaan dan penganggaran. Pelaksanaan yang lebih rinci dituangkan dalam peraturan pemerintah yaitu: ,

1.      PP No.. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah,

2.      PP No. 56/2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah,

3.      PP No. 57/2005 tentang Hibah Kepada Daerah,

4.      PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah[ii],

5.      PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal,

6.      PP No. 72/2005 tentang Desa.,

Dari kelima Peraturan Pemerintah di atas, PP No. 58/2005 dan PP No. 65/2005 merupakan PP yang sangat penting untuk perencanaan dan penganggaran daerah. PP No. 65/2005 menjelaskan mengenai proses penganggaran serta pengelolaan keuangan daerah.  Peraturan ini juga menetapkan peran-peran SKPD di daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.,

Untuk mengatur secara rinci proses penganggaran daerah berdasarkan PP No. 58/2005, saat ini pemerintah tengah menyusun revisi Keputusan Menteri No. 29/2002 yang memberi pedoman baik proses, pengelolaan maupun format isian anggaran daerah. Sedangkan PP No. 65/2005 menetapkan bahwa standar pelayanan minimal harus menjadi rujukan ketika SKPD menetapkan capaian kinerja program dan pengalokasian anggaran. [iii] Ketentuan ini sangat penting sebagai pedoman utama daerah dalam menyusun berbagai dokumen perencanaan. Untuk peraturan pelaksanaan perencanaan daerah, saat ini pemerintah tengah mempersiapkan peraturan pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Untuk menjamin terlaksananya mekanisme bottom-up dalam proses perencanaan, pemerintah tiap tahun mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) tentang tata cara Musrenbang dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang akan menjadi rujukan dalam menetapkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA).[iv] ,

Untuk perencanaan di tingkat desa, serta hubungan antara perencanaan di tingkat desa dengan perencanaan dan penganggaran daerah diatur oleh Peraturan Pemerintah No.  72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan tersebut mewajibkan desa untuk menyusun rencana pembangunan jangka menengah dan rencana pembangunan tahunan desa. PP No. 72/2005 mewajibkan daerah untuk mengalokasikan  bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%.[v] Selain dari dana perimbangan, desa juga mendapatkan minimal 10% dari retribusi kabupaten/kota. Dana ini selanjutnya disebut sebagai Alokasi Dana Desa (ADD).,

Merujuk pada kerangka hukum, ada beberapa reformasi penting dalam proses perencanaan dan penganggaran yaitu:,

1.      Bappeda merupakan satu-satunya Satuan Kerja Perangkat  Daerah (SKPD) yang mengkoordinasikan siklus proses perencanaan di daerah.[vi],

2.      Karena APBD adalah cerminan dari kebijakan alokasi sumber daya publik, maka dokumen APBD dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Karena itu, DPRD harus terlibat dalam pembahasan anggaran terutama dalam penetapan Kebijakan Umum APBD, dan penetapan prioritas dan plafon APBD.[vii],

 3.      Meskipun secara teoritis dokumen MTEF bisa berjangka waktu dua sampai tiga tahun, UU No. 17/2003 dan PP 58/2005 secara tegas menetapkan bahwa dokumen MTEF dibuat oleh SKPD untuk jangka waktu dua tahun.[viii] Meskipun hanya untuk jangka waktu dua tahun, tetapi dokumen ini sangat berguna bagi Bappeda sebagai masukan dalam menyusun rancangan awal RKPD tahun berikutnya.,

4.      Berdasarkan PP No. 58/2005, penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan minimal.[ix]  Reformasi ini sangat penting karena SKPD untuk mengorientasikan SKPD dalam menetapkan kinerja yang akan dicapai.,

5.      PP No. 72/2005 menggariskan adanya alokasi dana desa dari kabupaten ke desa. Reformasi ini juga sangat penting terutama untuk perencanaan partisipatif. Dengan dana ini maka program skala desa tidak perlu dibahas dalam musrenbang di tingkat kecamatan dan SKPD, karena program tersebut telah didanai oleh ADD. Yang perlu ditindaklanjuti dari kebijakan ini terutama adalah mekanisme transfer, pedoman penggunaan, dan akuntabilitas pemanfaatan ADD baik kepada masyarakat maupun kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.,

6.      UU No. 25/2004 memberikan pengertian yang luas mengenai tahapan perencanaan termasuk tahap monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana yang dilakukan baik oleh SKPD maupun oleh Bappeda.[x] Lebih jauh UU No. 17/2003 menetapkan bahwa sanksi pidana dan denda dapat dikenakan kepada pejabat yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan kebijakan anggaran yang telah ditetapkan.[xi] Reformasi ini sangat penting karena pembangunan diartikan sebagai satu siklus yang meliputi rencana, pelaksanaan, menitoring dan evaluasi.


[i] Salah satu perkembangan wacana yang sangat penting dalam transisi demokrasi di Indonesia adalah demokrasi tidak hanya difahami sebagai prosedur untuk perebutan kekuasaan melainkan juga prosedur untuk menjamin pemerintahan dapat bekerja sesuai dengan mandat rakyat. Dalam konteks perebutan kekuasaan, telah banyak reformasi yang terjadi diantaranya adalah sistem pemilihan umum baik presiden maupun anggota DPR. Namun prosedur yang menjamin bahwa pemerintahan dapat bekerja dan memutuskan sesuai dengan mandat rakyat –misalnya proses pengambilan keputusan mengenai alokasi sumber daya- nampaknya masih harus terus diperjuangkan.
[ii] PP ini menggantikan PP No. 105.
[iii] PP No. 65/2005 pasal 9.
[iv] Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Ketua Bappenas yang Pertama dikeluarkan dalam kerangka UU No. 17/2003, UU No. 25/2004, dan UU No. 32/2004 adalah SEB No. 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ  tentang  Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang  Tahun 2005. Keluarnya SEB ini tidak terlepas dari dukungan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Perform Project, dan Yayasan Tifa.
[v] Ketentuan tentang Alokasi Dana Desa dalam PP ini mengadopsi SE Mendagri No. 140/640/SJ tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Kabupten/Kota kepada Pemerintah Desa. Keluarnya SE Mendagri ini tidak terlepas dari pengaruh Forum Pembangunan dan Pembaharuan Desa (FPPD). 
[vi] UU No. 25/2003 pasal 33.
[vii] UU No. 17/2003 pasal 18.
[viii] UU No. 17/2003 pasal 19 ayat 1.
[ix] PPNo. 58/2005 pasal 39 ayat 2.
[x] UU No. 25/2004 pasal 8.
[xi] UU No. 17/2003 pasal 34.

Lebih Besar Ormas Ketimbang Pendidikan

Dalam tiga tahun terakhir, Pemerintah Kota Bandung lebih senang bagi-bagi uang untuk organisasi masyarakat dibanding kebutuhan krusial.

Pada tahun 2005, melalui APBD perubahan Kota Bandung, bantuan keuangan untuk organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi ditingkatkan dari Rp. 25.96 miliar menjadi Rp 96,89 miliar. Kebutuhan belanja Pemerintah ditingkatkan dari Rp. 1,13 triliun menjadi Rp. 1,16 triliun.

Baca lebih lanjut

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!